Powered By Blogger

Selasa, 11 Juni 2013

PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT DASAR NEGARA KEBANGSAAN DAN KESEJAHTERAAN Berdasarkan pidato Bung Karno 1 Juni, yang terkenal dengan Lahirnya Pancasila terdapat uraian yang pada hakekatnya menggambarkan wujud Negara Indonesia yang akan dibangun di seberang jembatan emas. Dari Pidato Lahirnya Pancasila, struktur wujud bangunan negara Indonesia merdeka yang diajarkan Bung Karno pada hakekatnya bercirikan lima karakteristik sebagai berikut: Pertama, Negara Indonesia yang merdeka adalah negara kebangsaan (Nation State) – suatu negara yang mengatasi batas-batas ras dan agama yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Wujud negara kebangsaan yang digariskan oleh Bung Karno memang pernah ada pada jaman Sriwijaya dan Majapahit, tetapi wujud negara kebangsaan modern yang dicita-citakan Bung Karno belum pernah ada sebelum Indonesia merdeka. Negara kebangsaan modern yang dicita-citakan Bung Karno adalah negara yang didukung oleh seluruh rakyat yang memiliki pengalaman kolektif sejarah yang sama dan yang berada dalam satuan gugusan wilayah yang secara geopolitik sangat strategis akan berdampak pada terancamnya integrasi nasional, baik secara sosial, politik dan teritorial. Apa yang kita hadapi pada saat ini, tidak lain karena banyak pemimpin melupakan hakekat negara Republik Indonesia sebagai negara kebangsaan yang masih perlu diwujudkan dan dipertahankan sebagai cita-cita, serta dibangun dan dikembangkan untuk menjadi negara kebangsaan modern yang kokoh, stabil, cerdas, dan bermartabat. Untuk itulah perlu dipertahankan bentuk negara kesatuan, dan perlu dilaksanakan dan diselenggarakannya satu sistem pendidikan nasional dan terus dimajukannya kebudayaan nasional. Kedua, Negara kebangsaan yang dicita-citakan Bung Karno adalah negara kebangsaan yang demokratis. Tetapi demokrasi yang dibangun bukanlah demokrasi gaya Yunani Kuno, melainkan demokrasi perwakilan yang mengutamakan permusvawaratan perwakilan untuk mencari konsensus. Bukan demokrasi liberal yang berdasarkan filosofi free-fight liberalism yang semangatnya adalah untuk mengalahkan lawan politik dan merebut kekuasaan, bukan semangat menemukan konsensus nasional untuk keutuhan bangsa, dan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat. Dalam Pidato Lahirnya Pancasila Bung Karno menyatakan: ”Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor tiga ini, yaitu prinsip permusyawaratan perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu saat yang hidup betul-betul hidup jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah candradimuka, kalau tidak ada perjuangan paham di dalamnya." Bahwa telah jelas Bung Karno mencita-citakan negara kebangsaan yang demokratis. Tetapi, demokrasi yang diusulkan adalah demokrasi perwakilan. Bahkan beliau memandang bahwa sebagai pengejawantahan adanya demokrasi dalam badan perwakilan itu akan selalu terjadi perjuangan yang hebat, tetapi perjuangan itu untuk mencapai yang terbaik untuk kepentingan rakyat seluruhnya, untuk kepentingan negara dan bangsa Indonesia. Bila kita kaitkan ajaran ini dengan situasi sekarang, tampak jelas betapa perdebatan yang sengit yang terjadi di DPR adalah sesuatu yang wajar sepanjang semangatnya bukan semata-mata untuk mengalahkan dan mengambil alih kekuasaan demi kepentingan golongan. Dan karena kita menganut demokrasi perwakilan seyogyanya rakyat pemilih mempercayakan sepenuhnya kepada para wakil rakyat yang telah terpilih untuk memperjuangkan cita-cita rakyat secara bijaksana, dan tidak perlu memberi tekanan terlalu berat sehingga hasil yang dicapai bukan demi hikmah kebijaksanaan melainkan hanya memenuhi tekanan yang mengancam yang menakutkan, yang belum tentu memiliki arti strategis jangka panjang bagi kepentingan nasional. Ketiga, Negara kebangsaan yang demokratis yang dicita-citakan Bung Karno juga bukan negara yang menganut free-fight liberalism dalam sistem ekonominya, melainkan negara kebangsaan yang demokratis dan bercita-cita terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sosio-demokrasi. Karakteristik yang ketiga ini hakekatnya adalah negara kesejahteraan seperti yang dijanjikan dalam kalimat akhir Pembukaan UUD1945, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan Pasal-pasal 27, 31, 33 dan 34 UUD 1945, nampaknya selama ini tidak sepenuhnya dijadikan landasan untuk membangun satu sistem ekonomi nasional. Patut disadari bahwa sikap anti kapitalisme yang dianut kaum sosialis yang berakar kepada pengalaman praktek kapitalisme abad ke-18 dan 19 merupakan induk imperialisme yang tidak serta merta dapat dipertahankan. Perkembangan kapitalisme global yang sepenuhnya telah menguasai kehidupan dan tata hubungan ekonomi dan politik dunia tidak dapat dilawan dengan sikap anti kapitalisme gaya kaum sosialis dan komunis pada era Pra-Perang Dunia II, melainkan perlu dihadapi dengan mengembangkan sistem ekonomi nasional yang benar-benar kokoh dan solid yang dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu, dikembangkannya satu sistem ekonomi nasional sebagai jalan ketiga yaitu dengan memajukan semua kegiatan ekonomi, baik ekonomi dengan kapital besar, menengah dan kecil, industri besar dengan teknologi mutakhir dan industri kecil serta industri rumah tangga, secara sinergis saling bergantung satu sama !ain. Bukan suatu kondisi ekonomi majemuk, yaitu suatu keadaan dimana kaum kapital besar dan industri besar, menengah, kecil dan kerakyatan masing-masing tidak saling bergantung, sehingga yang menjadi korban adalah kegiatan ekonomi rakyat yang selalu menjadi konsumen ekonomi kapital besar tetapi produksinya tidak menyentuh dan tidak tersalur ke dimensi ekonomi berkapital besar. Tanpa menata suatu sistem ekonomi yang demikian sukar diharapkan cita-cita Bung Karno untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan dapat tercapai. Keempat, Sejak dini, bahkan sebelum menyajikan Pidato lahirnya Pancasila, Bung Karno telah berulangkali mengemukakan pentingnya hubungan internasional yang berdasarkan kemerdekaan, keadilan sosial dan perdamaian abadi. Pandangan ini dipertegas dalam Pidato Lahirnya Pancasila dengan menyatakan "Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme", karena karakter keempat dari wujud negara Indonesia merdeka yang dicita-citakan Bung Karno adalah negara yang mencintai perdamaian, yang ikut serta dalam membangun ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, keadilan sosial, dan perdamaian abadi. Bukan suatu tatanan dunia yang aturannva didikte negara-negara maju, seperti yang kita alami sekarang ini. Kelima, Bung Karno sadar bahwa keberhasilan kita membangun negara kebangsaan yang demokratis, yang menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan mampu secara aktif ikut serta menciptakan ketertiban dunia akan ditentukan oleh ridho Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, ciri khas kelima dari negara kebangsaan Indonesia yang modern adalah bahwa negara Indonesia adaiah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tentang wujud dari negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Bung Karno menyatakan: "Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan, Tuhannya sendiri, yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Almasih, yang Islam ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita ber-Tuhan, hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhan-Nya dengan cara leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara berbudaya, yakni yang tidak ada egoisme agama". Selanjutnya, Bung Karno secara lebih tersurat menyatakan: "Marilah kita amalkan, jalankan agama baik Islam maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain. Nabi Muhammad SAW telah memberikan bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan : bahwa prinsip kelima dari negara kita ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, Ketuhanan yang menghormati satu sama lain". Saya berpandangan bahwa Pancasila yang tertuang dalam Pidato Lahirnya Pancasila bukan hanya rumusan dasar negara, melainkan sekaligus menggambarkan kerangka dari wujud karakteristik dari kerangka bangunan negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Dewasa ini nampaknya ajaran yang telah dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 ini kurang dipahami bahkan sering hanya dijadikan bumbu retorika politik tanpa benar-benar didalami untuk dapat menterjemahkannya dalam hukum dasar, dan berbagai ketentuan penyelenggaraan negara bangsa di segala bidang kehidupan kenegaraan bangsa Indonesia. Hal ini benar-benar saya rasakan dalam Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR Rl yang membahas Amandemen UUD 1945. Kerangka bangunan negara Indonesia merdeka yang dicita-citakan Bung Karno, menururt pandangan saya, hakekatnya adalah negara kebangsaan modern yang demokratis, yang mengutamakan kesejahteraan rakyat dan berkeadilan sosial, yang menjunjung tinggi HAM dan perdamaian dunia serta yang Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Kerangka dasar bangunan negara ini pada tahun 1945 hanya lah merupakan cita-cita yang harus diisi dengan kelembagaan dan infrastruktur serta manusia nya. Untuk itu perlu ditempuh suatu perubahan radikal (revolusioner) dalam diri manusia dan masyarakat Indonesia, dari masyarakat yang ber-Bhinneka Ketunggal Ika-an, dan masyarakat tradisional dan feodal menuju masyarakat yang modern dan demokratis. Untuk itu Bung Karno secara sadar mengajarkan kepada kita bahwa kita menghadapi "a summing-up of many revolutions in one generation." Ini bermakna bahwa perubahan dan pembaharuan yang perlu kita lakukan meliputi hampir semua dimensi kehidupan masyarakat negara bangsa, sosial, budaya, ekonomi, politik dan iptek. Dalam kaitan inilah kita memandang berbagai kelembagaan politik, sosial, budaya, ekonomi dan manusianya perlu secara sinergik dan sistemik di tata dan dikembangkan untuk mengisi kerangka bangunan negara Indonesia merdeka yang di rancang oleh Bung Karno seperti digariskan dalam Pidato 1 Juni 1945 yang hari ini kita peringati. Kalau kita amati perjalanan Indonesia sejak proklamasi sampai sekarang kita menyaksikan di bidang politik betapa kita telah mencoba-coba menganut sistem dan struktur politik yang tidak sepenuhnya sesuai dengan kerangka bangunan negara-bangsa yang dicita-citakan Bung Karno. Sejak November 1945 sampai dengan 5 Juli 1959 kita menganut sistem multi partai dan sistem parlementer yang hakekatnya menjiplak sistem politik negeri Belanda. Dalam bahasaVerba-nya (Civic culture), suatu sistem politik yang tidak "congruent" dengan budaya politik masyarakat. Sejak 5 Juli 1959 sampai 1966, kita menganut sistem demokrasi terpimpin, dan dari tahun 1966 sampai tahun 1998 kita menganut sistem politik yang sangat terpimpin dengan pembatasan jumlah organisasi sosial-politik. Sejak 1998 semua pemimpin berjanji untuk mempertahankan Pembukaan UUD 1945 yang pada hakekatnya merupakan intisari ajaran Bung Karno yang tertuang dalam Pidato Lahirnya Pancasila, tentang kerangka wujud negara Indonesia merdeka. Namun, kalau kita ikuti secara cermat para elit dan pemikir politik yang menguasai media massa dan wacana politik nampak tidak memahami hakekat ajaran yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945. Tidak konsistennva pola pikir sementara pemimpin politik dan pakar Ilmu politik dan hukum dengan cita-cita kenegaraan yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 ini, menurut hemat saya, merupakan akar dari kemelut politik dan sukarnya membangun sistem politik yang stabil. Untuk itu, adalah tanggung jawab kita semua, terutama yang bertanggung jawab bagi terselenggaranya pendidikan nasional untuk secara sistematis merancang dan menyelenggarakan pendidikan nasional sebagai wahana proses transformasi budaya menuju berkembangnya budaya poiitik yang berakar kepada cita-cita negara Pancasila yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945. Dari uraian ini jelaslah kiranya bahwa Pancasila adalah suatu pandangan filsafat negara yang modern. Dasar dalam pandangan saya bahwa Filsafat Pancasila yang tertuang dalam Pidato 1 Juni selanjutnya oleh para pendiri Republik dikristalisasikan menjadi isi dari Deklarasi Kemerdekaan yang selanjutnya menjadi Pembukaan UUD 1945. Dan Pembukaan UUD 1945 ini hakekatnya adalah Ideologi Negara dari Negara Kebangsaan dan Negara Kesejahteraan Indonesia. Untuk itu bagian berikut akan mengulas dan menganalisis tentang topik tersebut.


Berdasarkan pidato Bung Karno 1 Juni, yang terkenal dengan Lahirnya Pancasila terdapat uraian yang pada hakekatnya menggambarkan wujud Negara Indonesia yang akan dibangun di seberang jembatan emas.
Dari Pidato Lahirnya Pancasila, struktur wujud bangunan negara Indonesia merdeka yang diajarkan Bung Karno pada hakekatnya bercirikan lima karakteristik sebagai berikut:

Pertama, Negara Indonesia yang merdeka adalah negara kebangsaan (Nation State) – suatu negara yang mengatasi batas-batas ras dan agama yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Wujud negara kebangsaan yang digariskan oleh Bung Karno memang pernah ada pada jaman Sriwijaya dan Majapahit, tetapi wujud negara kebangsaan modern yang dicita-citakan Bung Karno belum pernah ada sebelum Indonesia merdeka. Negara kebangsaan modern yang dicita-citakan Bung Karno adalah negara yang didukung oleh seluruh rakyat yang memiliki pengalaman kolektif sejarah yang sama dan yang berada dalam satuan gugusan wilayah yang secara geopolitik sangat strategis akan berdampak pada terancamnya integrasi nasional, baik secara sosial, politik dan teritorial. Apa yang kita hadapi pada saat ini, tidak lain karena banyak pemimpin melupakan hakekat negara Republik Indonesia sebagai negara kebangsaan yang masih perlu diwujudkan dan dipertahankan sebagai cita-cita, serta dibangun dan dikembangkan untuk menjadi negara kebangsaan modern yang kokoh, stabil, cerdas, dan bermartabat. Untuk itulah perlu dipertahankan bentuk negara kesatuan, dan perlu dilaksanakan dan diselenggarakannya satu sistem pendidikan nasional dan terus dimajukannya kebudayaan nasional.

Kedua, Negara kebangsaan yang dicita-citakan Bung Karno adalah negara kebangsaan yang demokratis. Tetapi demokrasi yang dibangun bukanlah demokrasi gaya Yunani Kuno, melainkan demokrasi perwakilan yang mengutamakan permusvawaratan perwakilan untuk mencari konsensus. Bukan demokrasi liberal yang berdasarkan filosofi free-fight liberalism yang semangatnya adalah untuk mengalahkan lawan politik dan merebut kekuasaan, bukan semangat menemukan konsensus nasional untuk keutuhan bangsa, dan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat. Dalam Pidato Lahirnya Pancasila Bung Karno menyatakan:
”Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor tiga ini, yaitu prinsip permusyawaratan perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu saat yang hidup betul-betul hidup jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah candradimuka, kalau tidak ada perjuangan paham di dalamnya."
Bahwa telah jelas Bung Karno mencita-citakan negara kebangsaan yang demokratis. Tetapi, demokrasi yang diusulkan adalah demokrasi perwakilan. Bahkan beliau memandang bahwa sebagai pengejawantahan adanya demokrasi dalam badan perwakilan itu akan selalu terjadi perjuangan yang hebat, tetapi perjuangan itu untuk mencapai yang terbaik untuk kepentingan rakyat seluruhnya, untuk kepentingan negara dan bangsa Indonesia. Bila kita kaitkan ajaran ini dengan situasi sekarang, tampak jelas betapa perdebatan yang sengit yang terjadi di DPR adalah sesuatu yang wajar sepanjang semangatnya bukan semata-mata untuk mengalahkan dan mengambil alih kekuasaan demi kepentingan golongan. Dan karena kita menganut demokrasi perwakilan seyogyanya rakyat pemilih mempercayakan sepenuhnya kepada para wakil rakyat yang telah terpilih untuk memperjuangkan cita-cita rakyat secara bijaksana, dan tidak perlu memberi tekanan terlalu berat sehingga hasil yang dicapai bukan demi hikmah kebijaksanaan melainkan hanya memenuhi tekanan yang mengancam yang menakutkan, yang belum tentu memiliki arti strategis jangka panjang bagi kepentingan nasional.

Ketiga, Negara kebangsaan yang demokratis yang dicita-citakan Bung Karno juga bukan negara yang menganut free-fight liberalism dalam sistem ekonominya, melainkan negara kebangsaan yang demokratis dan bercita-cita terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sosio-demokrasi. Karakteristik yang ketiga ini hakekatnya adalah negara kesejahteraan seperti yang dijanjikan dalam kalimat akhir Pembukaan UUD1945, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan Pasal-pasal 27, 31, 33 dan 34 UUD 1945, nampaknya selama ini tidak sepenuhnya dijadikan landasan untuk membangun satu sistem ekonomi nasional. Patut disadari bahwa sikap anti kapitalisme yang dianut kaum sosialis yang berakar kepada pengalaman praktek kapitalisme abad ke-18 dan 19 merupakan induk imperialisme yang tidak serta merta dapat dipertahankan. Perkembangan kapitalisme global yang sepenuhnya telah menguasai kehidupan dan tata hubungan ekonomi dan politik dunia tidak dapat dilawan dengan sikap anti kapitalisme gaya kaum sosialis dan komunis pada era Pra-Perang Dunia II, melainkan perlu dihadapi dengan mengembangkan sistem ekonomi nasional yang benar-benar kokoh dan solid yang dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu, dikembangkannya satu sistem ekonomi nasional sebagai jalan ketiga yaitu dengan memajukan semua kegiatan ekonomi, baik ekonomi dengan kapital besar, menengah dan kecil, industri besar dengan teknologi mutakhir dan industri kecil serta industri rumah tangga, secara sinergis saling bergantung satu sama !ain. Bukan suatu kondisi ekonomi majemuk, yaitu suatu keadaan dimana kaum kapital besar dan industri besar, menengah, kecil dan kerakyatan masing-masing tidak saling bergantung, sehingga yang menjadi korban adalah kegiatan ekonomi rakyat yang selalu menjadi konsumen ekonomi kapital besar tetapi produksinya tidak menyentuh dan tidak tersalur ke dimensi ekonomi berkapital besar. Tanpa menata suatu sistem ekonomi yang demikian sukar diharapkan cita-cita Bung Karno untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan dapat tercapai.

 Keempat, Sejak dini, bahkan sebelum menyajikan Pidato lahirnya Pancasila, Bung Karno telah berulangkali mengemukakan pentingnya hubungan internasional yang berdasarkan kemerdekaan, keadilan sosial dan perdamaian abadi. Pandangan ini dipertegas dalam Pidato Lahirnya Pancasila dengan menyatakan "Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme", karena karakter keempat dari wujud negara Indonesia merdeka yang dicita-citakan Bung Karno adalah negara yang mencintai perdamaian, yang ikut serta dalam membangun ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, keadilan sosial, dan perdamaian abadi. Bukan suatu tatanan dunia yang aturannva didikte negara-negara maju, seperti yang kita alami sekarang ini. 

Kelima, Bung Karno sadar bahwa keberhasilan kita membangun negara kebangsaan yang demokratis, yang menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan mampu secara aktif ikut serta menciptakan ketertiban dunia akan ditentukan oleh ridho Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, ciri khas kelima dari negara kebangsaan Indonesia yang modern adalah bahwa negara Indonesia adaiah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tentang wujud dari negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Bung Karno menyatakan:
"Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan, Tuhannya sendiri, yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Almasih, yang Islam ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita ber-Tuhan, hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhan-Nya dengan cara leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara berbudaya, yakni yang tidak ada egoisme agama".
Selanjutnya, Bung Karno secara lebih tersurat menyatakan:
"Marilah kita amalkan, jalankan agama baik Islam maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain. Nabi Muhammad SAW telah memberikan bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan : bahwa prinsip kelima dari negara kita ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, Ketuhanan yang menghormati satu sama lain".
Saya berpandangan bahwa Pancasila yang tertuang dalam Pidato Lahirnya Pancasila bukan hanya rumusan dasar negara, melainkan sekaligus menggambarkan kerangka dari wujud karakteristik dari kerangka bangunan negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Dewasa ini nampaknya ajaran yang telah dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 ini kurang dipahami bahkan sering hanya dijadikan bumbu retorika politik tanpa benar-benar didalami untuk dapat menterjemahkannya dalam hukum dasar, dan berbagai ketentuan penyelenggaraan negara bangsa di segala bidang kehidupan kenegaraan bangsa Indonesia. Hal ini benar-benar saya rasakan dalam Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR Rl yang membahas Amandemen UUD 1945.
Kerangka bangunan negara Indonesia merdeka yang dicita-citakan Bung Karno, menururt pandangan saya, hakekatnya adalah negara kebangsaan modern yang demokratis, yang mengutamakan kesejahteraan rakyat dan berkeadilan sosial, yang menjunjung tinggi HAM dan perdamaian dunia serta yang Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Kerangka dasar bangunan negara ini pada tahun 1945 hanya lah merupakan cita-cita yang harus diisi dengan kelembagaan dan infrastruktur serta manusia nya. Untuk itu perlu ditempuh suatu perubahan radikal (revolusioner) dalam diri manusia dan masyarakat Indonesia, dari masyarakat yang ber-Bhinneka Ketunggal Ika-an, dan masyarakat tradisional dan feodal menuju masyarakat yang modern dan demokratis. Untuk itu Bung Karno secara sadar mengajarkan kepada kita bahwa kita menghadapi "a summing-up of many revolutions in one generation." Ini bermakna bahwa perubahan dan pembaharuan yang perlu kita lakukan meliputi hampir semua dimensi kehidupan masyarakat negara bangsa, sosial, budaya, ekonomi, politik dan iptek. Dalam kaitan inilah kita memandang berbagai kelembagaan politik, sosial, budaya, ekonomi dan manusianya perlu secara sinergik dan sistemik di tata dan dikembangkan untuk mengisi kerangka bangunan negara Indonesia merdeka yang di rancang oleh Bung Karno seperti digariskan dalam Pidato 1 Juni 1945 yang hari ini kita peringati.
Kalau kita amati perjalanan Indonesia sejak proklamasi sampai sekarang kita menyaksikan di bidang politik betapa kita telah mencoba-coba menganut sistem dan struktur politik yang tidak sepenuhnya sesuai dengan kerangka bangunan negara-bangsa yang dicita-citakan Bung Karno. Sejak November 1945 sampai dengan 5 Juli 1959 kita menganut sistem multi partai dan sistem parlementer yang hakekatnya menjiplak sistem politik negeri Belanda. Dalam bahasaVerba-nya (Civic culture), suatu sistem politik yang tidak "congruent" dengan budaya politik masyarakat. Sejak 5 Juli 1959 sampai 1966, kita menganut sistem demokrasi terpimpin, dan dari tahun 1966 sampai tahun 1998 kita menganut sistem politik yang sangat terpimpin dengan pembatasan jumlah organisasi sosial-politik. Sejak 1998 semua pemimpin berjanji untuk mempertahankan Pembukaan UUD 1945 yang pada hakekatnya merupakan intisari ajaran Bung Karno yang tertuang dalam Pidato Lahirnya Pancasila, tentang kerangka wujud negara Indonesia merdeka. Namun, kalau kita ikuti secara cermat para elit dan pemikir politik yang menguasai media massa dan wacana politik nampak tidak memahami hakekat ajaran yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945. Tidak konsistennva pola pikir sementara pemimpin politik dan pakar Ilmu politik dan hukum dengan cita-cita kenegaraan yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 ini, menurut hemat saya, merupakan akar dari kemelut politik dan sukarnya membangun sistem politik yang stabil. Untuk itu, adalah tanggung jawab kita semua, terutama yang bertanggung jawab bagi terselenggaranya pendidikan nasional untuk secara sistematis merancang dan menyelenggarakan pendidikan nasional sebagai wahana proses transformasi budaya menuju berkembangnya budaya poiitik yang berakar kepada cita-cita negara Pancasila yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945.
Dari uraian ini jelaslah kiranya bahwa Pancasila adalah suatu pandangan filsafat negara yang modern. Dasar dalam pandangan saya bahwa Filsafat Pancasila yang tertuang dalam Pidato 1 Juni selanjutnya oleh para pendiri Republik dikristalisasikan menjadi isi dari Deklarasi Kemerdekaan yang selanjutnya menjadi Pembukaan UUD 1945. Dan Pembukaan UUD 1945 ini hakekatnya adalah Ideologi Negara dari Negara Kebangsaan dan Negara Kesejahteraan Indonesia. Untuk itu bagian berikut akan mengulas dan menganalisis tentang topik tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar